Selasa, 02 November 2010

Position Paper

Nama : Nur Fajri
NIM : 08601244228
Sosiologi Olahraga,IKF 220
Position Paper

Kekerasan yang Membudaya dalam Olahraga
Pendahuluan
Pada masa sekarang perkembangan budaya masyarakat dan aspek-aspeknya termasuk dengan kebiasaan-kebiasaan mereka yang bertambah tahun semakin bertambah kompleks saja baik dari segi positif maupun dari segi negatifnya. Salah satu contohnya olahraga masyarakat. Berbagai prestasi dan perilaku buruk pun didapat darinya.
Akhir-akhir ini perkembangan seputar olahraga sebagai budaya masyarakat juga dirasakan semakin berkembang dan kompleks, begitu juga dengan budaya-budaya yang melekat pada seputar dunia olahraga. Awal mula ada budaya terjadi karena kebiasaan-kebiasaan seseorang atau sekelompok orang yang berlangsung lama dan melekat pada diri seseorang atau sekelompok tersebut. Sebagai contoh kejadian yang terjadi pada suporter-suporter pada saat ini, seakan-akan kerusuhan, kekerasan, dan kericuhan merupakan suatu yang biasa dan malah sudah menjadi budaya. Dan hal ini akan jadi permasalahan dalam dunia olahraga. Karena mau tidak mau permasalahan ini akan membuat citra olahraga itu sendiri menjadi buruk hanya karena permasalahan-permasalahan yang kecil. Catatan ini akan membahas tentang mengapa kekerasan menjadi budaya dalam olahraga sehingga citra dari olahraga itu menjadi buruk di mata masyarakat. Pengambilan data dilakukan dengan studi pustaka yang meliputi kajian sistematis dan menyeluruh artikel jurnal, surat kabar, media elektronik dan internet.
Isi Kajian
Dalam suatu kehidupan tak jarang ditemukan suatu kebiasaan, yang disebut dengan budaya. Seperti yang ada pada negeri ini banyak sekali ditemukan budaya termasuk olahraga. Di mana pun kita berada pasti tak akan jauh dengan yang namanya budaya. Kebudayaan yang dilakukan secara bersama akan sulit untuk dihilangkan. Tetapi dalam hal ini sebuah tingkah laku yang kolektif atau bersama dapat merubah perubahan budaya pada masyarakat (sugiyanto,1997). Seperti sebuah olahraga, yang dapat mengubah budaya masyarakat baik dari kalangan kecil maupun besar. Olahraga sebagai suatu budaya dapat mempererat tali persaudaraan dan bisa saja malah olahraga dapat membuat orang bermusuhan. Hal ini karena olahraga tersebut tidak dilaksanakan dengan sebenarnya atau tidak dilaksanakan dengan sportif. Mereka menggunakan kekerasan untuk dapat memenangkan pertandingan olahraga tertentu. Hal ini yang menjadi faktor utama terjadinya kerusuhan, keanarkisan, kekerasan. Entah karena apa, jargon-jargon seperti; sportifitas, fair play, semangat persaudaraan, dan sebagainya, olahraga untuk perdamaian, dan sebagainya, begitu mudah tenggelam dalam hiruk-pikuk subyektifisme kolektif yang bersifat spontan yang tak jarang memunculkan kekerasan. Sebenarnya menang dan kalah bukanlah segala-galanya. Menang dan kalah adalah sebuah konsekuensi logis dari keputusan kita untuk 'terlibat'. Menang dan kalah akan menjadi lebih bermakna bila ia justru menciptakan suasana damai, bersahabat, jauh dari kekerasan dan ketidakjujuran. Perbedaan individu dan kepribadian yang memang mempengaruhi hubungan antar sesama manusia seharusnya tidak menjadi masalah utama dalam kericuhan, kekerasan olahraga. Seharusnya ini malah menjadi salah satu jalur untuk kita bersatu. Seperti pepatah negara kita yaitu walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Kekerasan olahraga dalam bentuk kelompok maupun individu memang bukan hanya datang dari diri saja tetapi ada faktor yang mempengaruhinya begitu masalah-masalah sosial muncul. Beberapa faktor yang mempengaruhi masalah-masalah itu timbul. Pertama, dari faktor ekonomi. Kedua, dari faktor psikologi. Ketiga, dari faktor emosional dan kebudayaan (soekanto,2006). Disisi lain dengan komunikasi, bahasa atau hubungan yang baik antar aktivis dunia olahraga seperti pemain, official, supporter dsb, akan meradakan kekerasan yang terjadi dan terbentuk hubungan yang baik dan perilaku yang normal. Karena bahasa memiliki empat fungsi (Alip, 2006): fungsi komunikatif (communicative function), fungsi emotif (emotive function), fungsi estetik (aesthetic function), dan fungsi indeksikal (indexical function). Dengan hubungan yang baik akan terbentuk perilaku yang normal atau perilaku yang baik.
Secara sosiologis, perilaku normal adalah perilaku yang mengonformasi aturan dan norma kelompok di mana satu perilaku terjadi. Di sisi lain, penyimpangan (deviant behavior) adalah perilaku yang gagal melakukan konformasi terhadap aturan dan norma kelompok (Durkheim, 1960). Kode moral merupakan suatu identitas yang dimiliki oleh suatu kelompok atau individu dan kode moral ini sangat beraneka di antara satu kelompok dengan kelompok lain yang cenderung menimbulkan kekerasan bila perselisihan terjadi. Mungkin kekerasan adalah cara untuk memperoleh kekuasaan. Hal ini karena adanya hubungan dekat antara kekuasaan dan kekerasan. Kekerasan dipakai sebagai cara manusia melaksanakan dan memperbesar kekuasaan (Max Weber). Untuk mengurangi, meminimalisir dan menghapus kekerasan salah satu upayanya adalah kita mesti memahami kode moral kelompok antar pelaku antar perilaku agar kekerasan tidak terjadi. Begitu pun jika kita ingin mencari solusi tepat yang dapat menghentikan perilaku kekerasan tersebut tidak terjadi lagi kita juga harus dapat saling memahami satu sama lain tanpa memandang perbedaan ras maupun perbedaan-perbedaan lainnya. Tanpa memahami kode moral yang menjadi konteks sosial dan budaya pelaku satu tindakan penyimpangan seperti kekerasan suporter, upaya mencari sosial yang bersahabat dapat dianggap tidak mungkin berhasil. Untuk dapat mendapatkan kode moral suatu kelompok-kelompok pelaku kekerasan diperlukan pendekatan habits dengan suatu kelompok tsb sehingga dimungkinkan ini bisa menetralisir atau meminimalisir kekerasan dalam dunia olahraga. Seperti yang dikatakan Pierre Bourdieu Untuk memahami motives dan drives mereka/pelaku kekerasan, jelas kita mesti memahami habitus mereka. Upaya tersebut dimaksudkan untuk mengubah kekerasan dalam olahraga menjadi hilang dan olahraga tanpa kekerasan dapat lebih cepat tercapai.


Kesimpulan

Satu hal penting yang mesti dicermati dari masyarakat yang menjadi konteks terjadinya satu kerusuhan adalah logika sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat tersebut jika kita dapat sesuai dan kita dapat adaptasi dengan logika sosial dan budaya masyarakat tersebut, kekerasan tidak akan mungkin terjadi. Untuk dapat mengubah budaya kekerasan kita harus dapat mengendalikan diri dan kita mengerti makna dari olahraga itu sendiri apa, yaitu olahraga yang menjunjung tinggi sportivitas. Jadi suatu pendekatan, saling memahami, sosialisasi antar aktivis seputar olahraga baik dengan langsung atau tak langsung sangat dibutuhkan agar terjadinya perdamaian, karena hal ini dapat meminimalisir dan menghapus kekerasan dalam olahraga. Jadi perlunya kesadaran semua orang untuk saling memahami dan sportif itu sangat dituntut dalam upaya menghilangkan, meminimalisir kekerasan yang menjadi budaya dalam olahraga. Setidaknya suatu upaya menghilangkan kekerasan tersebut dapat menjadikan aktivis seputar dunia olahraga mengalami berbagai konflik emosi seperti rasa bersalah, perasaan tidak nyaman, ketegangan, kegelisahan, hingga satu gejala yang disebut sebagai self-depreciation dapat dirasakan pelaku kericuhan apabila ia melakukan lagi perilaku negatif tersebut. Sehingga kekerasan dapat segera hilang dan diharapkan tak akan terjadi lagi kekerasan dalam dunia olahraga

Daftar Pustaka
http://fans.bolanews.com/c/archive/index.php?t-715.html.Menjadi Indonesia.
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0309/14/Fokus/560862.html.Ajang Ekspresi Impulsi Kekerasan.
Setiawan, Caly.(2006). Budaya Jawa dan Kekerasan Sepak Bola . Kompas, 4 April 2006.
Soekanti, Soerjono.2006.Sosiologi Suatu Pengantar.
Sugiharto, kartika dkk.2007.Psikologi Pendidikan.
Sugiyanto, FX.(1997).Diktat Mata Kuliah Sosiologi Olahraga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar